Salahkah
Tuhan?
Cerpen dan Kerangkanya, Salahkah Tuhan?, oleh Elvina Rahayu - Air mata itu sudah tak terbendung lagi. Air mata itu keluar begitu saja saat dia mengingat kejadian sepuluh tahun silam. Saat itu dia masih berumur sepuluh tahun. Dia tau, dia adalah seorang laki-laki, tapi bukankah tak ada pasal-pasal yang melarang seorang laki-laki untuk menangis. Duduk bermenung di lantai tiga sambil memandangi foto-foto masa lalu, hanya itu yang dapat mengobati kerinduannya pada orang yang disayanginya.
Pagi itu adalah pagi yang sangat cerah. Mentari pun seakan ikut senang melihat kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya. Kicauan burung menari-nari di angkasa, Sungguh indah ketika memandangnya. Embun pagi menyejukan di hati. Semerbak wangi mawar membuat segar perasaan. Indahya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, Tak ada yang bisa menandinginya. Karena Tuhan adalah Sang Khalik pencipta alam semesta.Ayah, Ibu, Nenek dan Khairil adalah keluarga kecil yang bahagia. Dia berfikir tak ada lagi keluarga di dunia ini yang dapat menandingi kebahagiaan keluarganya.
“Makan dulu Kei sebelum berangkat sekolah!” Perempuan berambut hitam panjang itu menyapanya, ia menatap dengan wajah yang penuh kasih sayang seorang bundo kanduang*)1.
“Ya Bu. Oya Bu Nenek mana ?” Jawabnya heran karena tak biasanya nenek tak makan bersama pagi itu.
“Ibu lupa ngasih tau kamu, subuh tadi Nenekmu dijemput oleh Paman, katanya sih akan tinggal beberapa hari disana.” Jawab Ibu dengan pasti.
Pagi itu memang pagi yang terasa asing baginya, Nenek, Ayah tak makan bersama pagi itu. Meskipun Ayahnya adalah seorang kuli angkat*)2 di pasar, biasanya ia tetap menyempatkan diri untuk makan bersamanya dulu.
“Bu Khairil berangkat sekolah dulu ya ?” Ujar Khairil sambil menyalami tangan Ibunya.
“Ya… Oya Kei Ibu nanti pulangnya lama mungkin agak sorean, makanan Ibu siapkan di lemari dan kunci Ibu titipkan ke rumah Kak Aisyah, nanti kamu mainnya di sana dulu sampai Ibu pulang ya ?” Jelas Ibu kepadanya.
“Memangnya Ibu nanti mau kemana ?” Tanyanya heran melihat sikap Ibunya yang tak pasti.
“Sudah, kamu berangkat sekolah dulu sana, nanti kamu terlambat lagi.” Jawab Ibu kepadanya.
“Ya Bu, Assalamualaikum.” Jawabnya sambil bergegas mengambil tas dan pergi ke sekolah.
Siang itu memang sangat ramai, karena sudah waktunya pulang sekolah. Banyak orang tua yang menjemput anak-anaknya, tidak dengan Khairil, sebab dari kelas tiga ibunya tak pernah mengantar dan menjemputnya lagi.
Saat diperjalanan pulang Dia teringat akan pesan yang di sampaikan Bu Guru tadi. Dia tak tau bagaimana caranya menyampaikannya kepada Ibu. Dia harus segera melunasi uang *3 khatam Al-Quran itu, jika tidak Ia tidak dapat diikutsertakan. Tapi Dia sadar, Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, sedangkan Ayahnya hanya seorang kuli angkat yang penghasilannya hanya seberapa. Pikirannya langsung berubah, jika nanti uang itu dibantu Mama yaitu kakak dari Ibunya, Ia rela tidak mengikuti perayaan itu karena Mamanya telah kurang ajar kepada Nenek, Ayah, Ibu dan Dia.
Seperti malam-malam biasanya, setiap malam Dia selalu belajar ke rumah kerabat jauhnya, namanya Kak Aisyah, rumah Kak Aisyah kebetulan disamping rumahnya. Kak Aisyah mengajarinya agar nilai-nilainya tak selalu jelek.
“Kei, kapan Khatam Al-Quranmu diadakan ?” Tanya perempuan berkulit langsat yang berpostur agak besar itu kepadanya.
“Mmm… Empat hari lagi Kak.” Jawabnya pelan agar tidak kedengaran Ibunya.
“Kamu sudah bayar uangnya ?” Tanya Kak Aisyah menyelidiki.
Belum sempat menjawab, Ibu langsung datang menghampiri dan memotong pembicaraannya dengan Kak Aisyah.
“Besok akan Ibu lunasi kesekolahanmu, tadi Ayahmu memberikan uangnya, jadi kamu gak uasah memikirkannya lagi . Aisyah Ibu minta tolong belikan celana hitam untuk adikmu, dan ibu menitipkannya kepadamu.” Ujar Ibu kepada Kak Aisyah.
oOo
Dua hari berlalu sudah. Kini hari perayaan kelulusannya semakin dekat. Saat pagi datang menjemput, Dia terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Melihat ke sekeliling rumah, namun Dia tak melihat Ibunya. Dia cari kedapur, ke WC Dia tak menemukannya, hatinya mulai cemas.
“Ibu kumohon baik-baik saja.” Ujarnya dengan cemas.
“Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa kepada Ibuku.” Dia tadahkan tangannya memohon pada Sang Kuasa.
Sekarang yang bisa Dia lakukan hanyalah menangis, mungkin hanya itu yang terpikirkan olehnya saat itu, maklum umurnya masih Sepuluh tahun waktu itu.
Setelah beberapa lama orang-orang kampung membantu mencari Ibunya yang hilang, ternyata mereka menemukan Ibunya sudah tak bernyawa lagi dalam sumur di belakang rumah. Setelah mengetahui hal itu, Dia merasa seakan halilintar bersambutan menyambarnya, angin terasa tuba yang menyesakkan di udara,. Dia melihat kesekeliling dengan cemas, hanya perasaan ibalahyang dilontarkan semua orang padanya saat itu. Dia berharap semua ini hanyalah mimpi, yang sebentar lagi Ia akan di bangunkan oleh Ibunya. Tapi semua ini adalah nyata. Ibunya telah tiada, telah pergi, meninggalkannya di dunia yang sangat kejam ini.
Ayahnya tiba dirumah setelah di jemput Kak Aisyah ke tempat kerjanya di pasar. Ayahnya seperti tongkat yang terombang-ambing di tengah lautan yang tak tau harus berbuat apa-apa lagi. Membesarkan dan mendidik seorang anak yang masih berumur sepuluh tahun nantinya.
Lututnya terasa lunglai, jantungnya terasa melemah, Dia terduduk lesu di samping Ibunya yang tak akan bangun lagi, membayangkan hal-hal yang akan terjadi kedepannya. Saat Ia melihat Ibunya, orang tuanya diselimuti kain putih yang tak bersuara lagi dan tak bergerak lagi, masalah-masalah baru menghantuinya.
“Kenapa kebahagiaanku tak diabadikan oleh sang waktu?” Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu Ia lontarkan.
Saat gundukan tanah pekuburan Ibunya masih basah karena siraman air *4 talakin, kini masalah-masalah itu sudah datang menghampirinya, dengan siapa dia akan tinggal, dimana Ia akan makan, dan bagaimana kehidupan Ayahnya nantinya, dan bahkan Nenek yang disayanginya tidak pulang untuk menengoknya, melihat anaknya untuk yang terakhir kalinya. Kini pepatah *5 kasiah Ibu sapanjang jalan, kasiah anak sapanjang panggalan tidak berlaku lagi baginya karena Neneknya.
oOo
Akhirnya yang Dia takut-takuti selama ini kejadian juga. Dia tinggal bersama Mamanya. Sudah lima hari ini Dia tinggal bersama Mamanya. Ternyata tak sesulit yang Ia bayangkan, semua orang yang ada dirumah itu baik kepadanya, namun tidak dengan akhir-akhir ini. Semuanya berubah, sekarang sudah terlihat nyata alami kebaikannya kepada Khairil.
“Kei tadi kamu mainnya kemana ?” tukas wanita gemuk yang di panggilnya Mama itu.
“Kerumah Kak Aisyah ma.” Jawabnya cemas.
“Sudah berapa kali Mama bilang, kamu jangan lagi pergi kesana, apa kamu tidak mendengarkannya? Awas saja kamu ya, kalau kamu berani lagi main kesana.” Ujar wanita itu dengan tegas kepadanya.
Dulu sewaktu Ibunya masih hidup Ia tak pernah dilarang untuk pergi kesana. Sekarang tinggal bersama Mamanya Ia terasa di kekang dan dihalang-halangi.Dia tau Dia hanyalah seorang tamu yang baru ala m ke kehidupan keluarga itu, Dia tau orang-orang disini tak menyukainya. Dulu Dia sangat benci kepada orang-orang yang mengganggu keluarganya, yang ala m masuk ke dalam keluarganya, tapi apa yang Ia lakukan sekarang malah sebaliknya, Ia yang mengganggu kehidupan keluarga orang lain.
Sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di depan rumah, dan itu adalah pamannya.
“Khairil, Kei buka pintunya!” teriak pamannya yang tedengar sayup-sayup.
“Ya…” Jawabnya bergegas membukakan pintu agar tidak kena marah lagi.
Dari mobil itu keluar Paman, Mama dan Neneknya. Neneknya keluar dari mobil dengan keadaan di papah. Neneknya tak seperti dulu lagi, dulunya yang kuat, gemuk kini sudah lemah, kurus dan tak bertenaga lagi.
“Apakah yang terjadi pada nenek? Tukasnya dalam hati.
Sudah beberapa hari ini keadaan Neneknya makin memburuk. Kesana kesini menemani Mama mencarikan obat hanya itulah yang bisa Dia bantu. Dia tak bisa membayangkan hal-hal buruk apa lagi yang akan terjadi.
Jam masih menunjukkan pukul 04.50 tetapi Mamanya sudah membangunkannya dari tidurnya.
“Kenapa ada banyak orang ma ?” Tanyanya heran kepda Mamanya.
“Kei, Nenekmu telah menyusul kepergian Ibumu nak.” Jawabnya sedih.
Setelah sampai di hadapan Nenek, kejadian sebulan silam seakan terjadi lagi padanya. Dia berfikir mengapa Tuhan tega mengambil orang-orang yang Ia sayangi. Ayahnya saja hanya sekali seminggu menongoknya. Dan sekarang Ia siap tak siap harus siap untuk kehilangan orang yang dicintainya lagi.
Angin di lantai tiga ini seakan berusaha menghapus air matanya yang jatuh. Seketika Dia menangis lagi, air matanya itu sudah tak bisa Dia tahan lagi. Tetes demi tetes mulai membasahi wajahnya. Lalu Dia hapus lagi begitu pun seterusnya. Angin itu pun sepertinya tak rela jika Dia menangis lagi. Angin yang kencang seakan merangkulnya, membawanya tuk pergi. Hening sepi keadaan malam bagaikan tak berhunikan makluk, seperti di hutan sepi sunyi.
“Salahkah Tuhan jika ku mengikutinya ?” Teriaknya dengan berdiri di tepi pembatas itu.
Catatan
*1 Sebutan untuk kaum Ibu di Sumatera Barat.
*2 Orang yang membantu untuk mengangkat-angkat barang di pasar.
*3 Perayaan yang diadakan bagi seseorang yang telah tamat membaca Al-Quran
*4 Air untuk penyiram kubur.
*5 Pepatah adat Minangkabau.
Kerangka Cerpen Salahkah Tuhan?
Tema : kehilangan orang yang dicintai.
Amanat :
· Jangan terlalu cepat menilai seseorang.
· Harus sabar dalam menghadapi masalah.
· Satiap kejadian itu pasti ada hikmahnya.
Tokoh dan penokohan :
· Dia (Khairil) : memikirkan keadaan orang lain, baik.
· Ibu : memikirkan untuk hal yang akan datang, perhatian.
· Nenek : penurut.
· Ayah : kurang perhatian pada keluarganya.
· Kak Aisyah : baik, penolong
· Paman : kurang bertanggung jawab.
· Mama : Pemarah, tidak memikirkan keadaan orang lain.
Latar :
· Waktu : pagi hari, siang hari, malam hari dan subuh.
· Tempat : Rumah, Sekolah, rumah Kak Aisyah, pekuburan dan rumah mama.
· Suasana : menggembirakan, menyedihkan dan menakutkan
Sudut pandang :
Sudut pandang impersonal (berdiri di luar cerita, serba melihat, serba mendengar, serbatahu, melihat sampai kedalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh).
Gaya bahasa :
Lugas, mudah dimengerti, di pahami.
Konflik:
· Khairil terlalu menyayangi keluarganya
· Mendapatkan ujian kehilangan orang-orang yang disayanginya
· Tinggal dengan orang-orang yang di bencinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar